Soma berarti tubuh. Pada gangguan somatoform, masalah
psikologis tampak dalam bentuk fisik. Gejala fisik dari gangguan somatoform,
dimana tidak ada penjelasan secara fisiologis dan tidak dapat dikontrol secara sadar,
berkaitan dengan faktor psikologis, biasanya kecemasan, dan untuk itu
diasumsikan bahwa gangguan ini disebabkan oleh faktor psikologis. Pada bagian
ini akan lebih dibahas mengenai dua gangguan somatoform yakni gangguan
conversion dan gangguan somatization. Akan tetapi sebelumnya juga perlu
diketahui bahwa dalam kategori DSM-IV-TR terdapat tiga bentuk lain dari
gangguan somatoform, yakni pain disorder, body dysmorphic disorder, dan
hypochondriasis.
PENGERTIAN DAN GEJALA
A. Pain Disorder
Pada pain disorder, penderita mengalami rasa sakit yang
mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan;faktor psikologis diduga
memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang
dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung
dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan
konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari
kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati
yang sebelumnya tidak didapat. Diagnosis akurat mengenai pain disorder
terbilang sulit karena pengalaman subjektif dari rasa nyeri selalu merupakan
fenomena yang dipengaruhi secara psikologis, dimana rasa nyeri itu sendiri
bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana, seperti penglihatan dan
pendengaran. Untuk itu, memutuskan apakah rasa nyeri yang dirasakan merupakan
gangguan nyeri yang tergolong gangguan somatoform, amatlah sulit. Akan tetapi
dalam beberapa kasus dapat dibedakan dengan jelas bagaimana rasa nyeri yang
dialami oleh individu dengan gangguan somatoform dengan rasa nyeri dari
individu yang mengalami nyeri akibat masalah fisik. Individu yang merasakan
nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri yang dialaminya
dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris dari
rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang
dirasakan menjadi lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam
Davidson, Neale, Kring, 2004).
B. Body Dysmorphic Disorder
Pada body dysmorphic disorder, individu diliputi dengan
bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian
wajah, misalnya kerutan di wajah, rambut pada wajah yang berlebihan, atau
bentuk dan ukuran hidung. Wanita cenderung pula fokus pada bagian kulit,
pinggang, dada, dan kaki, sedangkan pria lebih cenderung memiliki kepercayaan
bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran penisnya terlalu kecil atau mereka
memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya (Perugi dalam Davidson, Neale, Kring,
2004). Beberapa individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan
menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan
berkaca di cermin. Ada pula yang menghindari cermin agar tidak diingatkan
mengenai kekurangan mereka, atau mengkamuflasekan kekurangan mereka dengan,
misalnya, mengenakan baju yang sangat longgar (Albertini & Philips daam
Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa bahkan mengurung diri di rumah untuk
menghindari orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Hal ini sangat
mengganggu dan terkadang dapat mengerah pada bunuh diri; seringnya konsultasi
pada dokter bedah plastik dan beberapa individu yang mengalami hal ini bahkan
melakukan operasi sendiri pada tubuhnya. Sayangnya, operasi plastik berperan kecil
dalam menghilangkan kekhawatiran mereka (Veale dalam Davidson, Neale, Kring,
2004). Body dysmorphic disorder muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai
pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia social,
gangguan kepribadian (Phillips&McElroy, 2000; Veale et al.,1996 dalam
Davidson, Neale, Kring, 2004). Faktor social dan budaya memainkan peranan
penting pada bagaimana seseorang merasa apakah ia menarik atau tidak, seperti
pada gangguan pola makan.
C. Hypochondriasis
Hypochondriasis adalah gangguan somatoform dimana individu
diliputi dengan ketakutan memiliki penyakit yang serius dimana hal ini
berlangsung berulang-ulang meskipun dari kepastian medis menyatakan sebaliknya,
bahwa ia baik-baik saja. Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja
dan cenderung terus berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya
merupakan konsumen yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan; bahkan
terkadang mereka manganggap dokter mereka tidak kompeten dan tidak perhatian
(Pershing et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Dalam teori disebutkan
bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi fisik yang umum dan gangguan
kecil, seperti detak jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang kadang
terjadi, rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti dari kepercayan mereka.
Hypochondriasis seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood.
D. Conversion disorder
Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik,
seperti hilangnya penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan
penyakit yang berkaitan dengan rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan
sistem saraf individu tersebut baik-baik saja. Aspek psikologis dari gejala
conversion ini ditunjukkan dengan fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara
tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan. Biasanya hal ini memungkinkan
individu untuk menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau individu
sangat ingin mendapatkan perhatian. Istilah conversion, pada dasarnya berasal
dari Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang di repress
dialihkan pada aspek sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu,
kecemasan dan konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik.
Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau
awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak
menyenangkan dalam hidup. Prevalensi dari conversion disorder kurang dari 1 %,
dan biasanya banyak dialami oleh wanita (Faravelli et al.,1997;Singh&Lee,
1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Conversion disorder biasanya
berkaitan dengan diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan
zat-zat terlarang, dan dengan gangguan kepribadian, yaitu borderline dan
histrionic personality disorder (Binzer, Anderson&Kullgren, 1996;Rechlin,
Loew&Jorashky, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
E. Somatization Disorder
Menurut DSM-IV-TR kriteria dari somatization disorder adalah
memiliki sejarah dari banyak keluhan fisik selama bertahun-tahun; memiliki 4
gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala sexual, dan 1 gejala
pseudoneurological; gejala-gejala yang timbul tidak disebabkan oleh kondisi
medis atau berlebihan dalam memberikan kondisi medis yang dialami.
Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari
0.5% dari populasi Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya
wanita African American dan Hispanic (Escobar et al., dalam Davidson, Neale,
Kring, 2004) dan pada pasien yang sedang menjalani pengibatan medis. Prevalensi
ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan di Puerto Rico
(Tomassson, Kent&Coryell dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Somatizaton
disorder biasanya dimulai pada awal masa dewasa (Cloninger et al., dalam
Davidson, Neale, Kring, 2004).
ETIOLOGI
Etiologi dari Somatization Disorder
Diketahui bahwa individu yang mengalami somatization
disorder biasanya lebih sensitive pada sensasi fisik, lebih sering mengalami
sensasi fisik, atau menginterpretasikannya secara berlebihan (Kirmayer et
al.,1994;Rief et al., 1998 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Kemungkinan
lainnya adalah bahwa mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dari pada
orang lain (Rief&Auer dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Pandangan
behavioral dari somatization disorder menyatakan bahwa berbagai rasa sakit dan
nyeri, ketidaknyamanan, dan disfungsi yang terjadi adalah manifestasi dari
kecemasan yang tidak realistis terhadap sistem tubuh. Berkaitan dengan hal ini,
ketika tingkat kecemasan tinggi, individu dengan somatization disorder memiliki
kadar cortisol yang tinggi, yang merupakan indikasi bahwa mereka sedang stress
(Rief et al., daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Barangkali rasa tegang yang
ekstrim pada otot perut mengakibatkan rasa pusing atau ingin muntah. Ketika
fungsi normal sekali terganggu, pola maladaptif akan diperkuat dikarenakan oleh
perhatian yang diterima.
Teori Psikoanalisis dari Conversion Disorder
Pada Studies in Hysteria (1895/1982), Breuer dan freud
menyebutkan bahwa conversion disorder disebabkan ketika seseorang mengalami
peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak
dapat diekspresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut dihilangkan dari
kesadaran. Gejala khusus conversion disebutkan dapat berhubungan seba-akibat
dengan peristiwa traumatis yang memunculkan gejala tersebut.
Freud juga berhipotesis bahwa conversion disorder pada
wanita terjadi pada awal kehidupan, diakibatkan oleh Electra complex yang tidak
terselesaikan. Berdasarkan pandangan psikodinamik dari Sackheim dan koleganya, verbal
reports dan tingkah laku dapat terpisah satu sama lain secara tidak
sadar.Hysterically blind person dapat berkata bahwa ia tidak dapat melihat dan
secara bersamaan dapat dipengaruhi oleh stimulus visual. Cara mereka
menunjukkan bahwa mereka dapat melihat tergantung pada sejauh mana tingkat
kebutaannya.
Teori Behavioral dari Conversion Disorder
Pandangan behavioral yang dikemukakan Ullman&Krasner
(dalam Davidson, Neale, Kring, 2004), menyebutkan bahwa gangguan konversi mirip
dengan malingering, dimana individu mengadopsi simtom untuk mencapai suatu
tujuan. Menurut pandangan mereka, individu dengan conversion disorder berusaha
untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai bagaimana seseorang
dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan
bereaksi. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan : (1) Apakah seseorang mampu
berbuat demikian? (2) Dalam kondisi seperti apa perilaku tersebut sering muncul
?
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka jawaban untuk
pertanyaan (1) adalah ya. Seseorang dapat mengadopsi pola perilaku yang sesuai
dengan gejala klasik conversion. Misalnya kelumpuhan, analgesias, dan kebutaan,
seperti yang kita ketahui, dapat pula dimunculkan pada orang yang sedang dalam
pengaruh hipnotis. Sedangkan untuk pertanyaan (2) Ullman dan Krasner
mengspesifikasikan dua kondisi yang dapat meningkatkan kecenderungan
ketidakmampuan motorik dan sensorik dapat ditiru. Pertama, individu harus
memiliki pengalaman dengan peran yang akan diadopsi. Individu tersebut dapat
memiliki masalah fisik yang serupa atau mengobservasi gejala tersebut pada
orang lain. Kedua, permainan dari peran tersebut harus diberikan reward.
Individu akan menampilkan ketidakampuan hanya jika perilaku itu diharapkan
dapat mengurangi stress atau untuk memperoleh konsekuensi positif yang lain.
Namun pandangan behavioral ini tidak sepenuhnya didukung oleh bukti-bukti
literatur.
Faktor Sosial dan Budaya pada Conversion Disorder
Salah satu bukti bahwa faktor social dan budaya berperan
dalam conversion disorder ditunjukkan dari semakin berkurangnya gangguan ini
dalam beberapa abad terakhir. Beberapa hipotesis yang menjelaskan bahwa
gangguan ini mulai berkurang adalah misalnya terapis yang ahli dalam bidang
psikoanalisis menyebutkan bahwa dalam paruh kedua abad 19, ketika tingkat
kemunculan conversion disorder tinggi di Perancis dan Austria, perilaku seksual
yang di repress dapat berkontribusi pada meningktnya prevalensi gangguan ini.
Berkurangnya gangguan ini dapat disebabkan oleh semakin luwesnya norma seksual
dan semakin berkembangnya ilmu psikologi dan kedokteran pada abad ke 20, yang
lebih toleran terhadap kecemasan akibat disfungsi yang tidak berkaitan dengan
hal fisiologis daripada sebelumnya.
Selain itu peran faktor sosial dan budaya juga menunjukkan
bahwa conversion disorder lebih sering dialami oleh mereka yang berada di
daerah pedesaan atau berada pada tingkat sosioekonomi yang rendah (Binzer et
al.,1996;Folks, Ford&Regan, 1984 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Mereka mengalami hal ini dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan mengenai konsep
medis dan psikologis. Sementara itu, diagnosis mengenai hysteria berkurang pada
masyarakat industrialis, seperti Inggris, dan lebih umum pada negara yang belum
berkembang, seperti Libya (Pu et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004 ).
Faktor Biologis pada Conversion Disorder
Meskipun faktor genetic diperkirakan menjadi faktor penting
dalam perkembangan conversion disorder, penelitian tidak mendukung hal ini.
Sementara itu, dalam beberapa penelitian, gejala conversion lebih sering muncul
pada bagian kiri tubuh dibandingkan dengan bagian kanan (Binzer et al.,dalam
Davidson, Neale, Kring, 2004). Hal ini merupakan penemuan menarik karena fungsi
bagian kiri tubuh dikontrol oleh hemisfer kanan otak. Hemisfer kanan otak juga diperkirakan
lebih berperan dibandingkan hemisfer kiri berkaitan dengan emosi negatif. Akan
tetapi, berdasarkan penelitian yang lebih besar diketahui bahwa tidak ada
perbedaan yang dapat diobservasi dari frekuensi gejala pada bagian kanan versus
bagian kiri otak (Roelofs et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
TERAPI
Case report dan spekulasi klinis saat ini menjadi sumber
informasi penting dalam membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini. Pada
analisa kasus, bukanlah ide yang baik untuk meyakinkan mereka yang mengalami
gangguan ini bahwa gejala conversion yang mereka alami berhubungan dengan
faktor psikologis. Pengetahuan klinis lebih menyajikan pendekatan yang lembut
dan suportif dengan memberikan reward bagi kemajuan dalam proses pengobatan meeka
(Simon dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Para terapis behaviorist lebih
menyarankan pada mereka yang mengalami gangguan somatoform, beragam teknik yang
dimaksudkan agar mereka menghilangkan gejala-gejala dari gangguan tersebut.
Terapi untuk Somatization Disorder
Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya
tingkat kecemasan yang diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh
situasi khusus. Akan tetapi semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi
orang yang “sakit” sekian lama maka akan tumbuh kebiasaan akan ketergantungan
untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan
tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai
somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan
fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan,
mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh
tentang penyakitnya atau tidak (Monson&Smith dalam Davidson, Neale, Kring,
2004).
Terapi untuk Hypochondriasis
Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti
efektif dalam mengurangi hypochondriasis (e.g. Bach, 2000; Feranandez,
Rodriguez&Fernandez, 2001, dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Penelitian
menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan bias kognitif dalam
melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan (Smeets et al., dalam
Davidson, Neale, Kring, 2004). Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan
untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya
dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini dari
gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis bahwa
mereka tidak sakit (e.g. Salkovskis&Warwick, 1986;Visser&Bouman,
1992;Warwick&Salkovskis, 2001 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Terapi untuk Pain Disorder
Pengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut :
memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan
hanya ada dalam pikiran penderita
relaxation training
memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti
orang yang mengalami rasa nyeri
Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari
apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang
dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stress,
mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol
diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita
rasakan.
GANGGUAN DISOSIATIF
Disosiasi psikologis adalah perubahan kesadaran mendadak
yang mempengaruhi memori dan identitas. Para individu yang menderita gangguan
disosiatif tidak mampu mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama
beberapa saat lupa akan identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru.
Gejala utama gangguan ini adalah adanya kehilangan (sebagian
atau seluruh dari integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara lain:
ingatan masa lalu
kesadaran identitas dan penginderaan (awareness of identity
and immediate sensations)
kontrol terhadap gerakan tubuh
PENGERTIAN DAN GEJALA
A. Amnesia Disosiatif
Amnesia disosiatif adalah hilangnya memori setelah kejadian
yang penuh stres. Seseorang yang menderita gangguan ini tidak mampu mengingat
informasi pribadi yang penting, biasanya setelah suatu episode yang penuh
stres.
Pada amnesia total, penderita tidak mengenali keluarga dan
teman-temannya, tetapi tetap memiliki kemampuan bicara, membaca dan penalaran,
juga tetap memiliki bakat dan pengetahuan tentang dunia yang telah diperoleh
sebelumnya.
B. Fugue Disosiatif
Fugue disosiatif adalah hilangnya memori yang disertai
dengan meninggalkan rumah dan menciptakan identitas baru.
Dalam fugue disosiatif, hilangnya memori lebih besar
dibanding dalam amnesia disosiatif. Orang yang mengalami fugue disosiatif tidak
hanya mengalami amnesia total, namun tiba-tiba meninggalkan rumah dan
beraktivitas dengan menggunakan identitas baru.
C. Gangguan Depersonalisasi
Gangguan depersonalisasi adalah suatu kondisi dimana
persepsi atau pengalaman seseorang terhadap diri sendiri berubah.
Dalam episode depersonalisasi, yang umumnya dipicu oleh
stres, individu secara mendadak kehilangan rasa diri mereka. Para penderita
gangguan ini mengalami pengalaman sensori yang tidak biasa, misalnya ukuran
tangan dan kaki mereka berubah secara drastis, atau suara mereka terdengar
asing bagi mereka sendiri. Penderita juga merasa berada di luar tubuh mereka,
menatap diri mereka sendiri dari kejauhan, terkadang mereka merasa seperti
robot, atau mereka seolah bergerak di dunia nyata.
D. Gangguan Identitas Disosiatif
Gangguan identitas disosiatif suatu kondisi dimana seseorang
memiliki minimal dua atau lebih kondisi ego yang berganti-ganti, yang satu sama
lain bertindak bebas. Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan disosiatif (GID)
dapat ditegakkan bila seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi ego
yang terpisah, atau berubah-ubah, kondisi yang berbeda dalam keberadaan,
perasaan dan tindakan yang satu sama lain tidak saling mempengaruhi dan yang
muncul serta memegang kendali pada waktu yang berbeda.
Secara singkat kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan identitas
disosiatif ialah:
a. Keberadaan dua atau lebih kepribadian atau identitas
b. Sekurang-kurangnya dua kepribadian mengendalikan perilaku
secara berulang
c. Ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang
penting.
ETIOLOGI
Istilah gangguan disosiatif merujuk pada mekanisme,
dissosiasi, yang diduga menjadi penyebabnya. Pemikiran dasarnya adalah
kesadaran biasanya merupakan kesatuan pengalaman, termasuk kognisi, emosi dan motivasi.
Namun dalam kondisi stres, memori trauma dapat disimpan dengan suatu cara
sehingga di kemudian hari tidak dapat diakses oleh kesadaran seiring dengan
kembali normalnya kondisi orang yang bersangkutan, sehingga kemungkinan
akibatnya adalah amnesia atau fugue.
Pandangan behavioral mengenai gangguan disosiatif agak mirip
dengan berbagai spekulasi awal tersebut. Secara umum para teoris behavioral
menganggap dissosiasi sebagai respon penuh stres dan ingatan akan kejadian
tersebut.
Etiologi GID. Terdapat dua teori besar mengenai GID. Salah
satu teori berasumsi bahwa GID berawal pada masa kanak-kanak yang diakibatkan
oleh penyiksaan secara fisik atau seksual. Penyiksaan tersebut mengakibatkan
dissosiasi dan terbentuknya berbagai kepribadian lain sebagai suatu cara untuk
mengatasi trauma (Gleaves, 1996).
Teori lain beranggapan bahwa GID merupakan pelaksanaan peran
sosial yang dipelajari. Berbagai kepribadian yang muncul pada masa dewasa
umumnya karena berbagai sugesti yang diberikan terapis (Lilienfel dkk, 1999;
Spanos, 1994). Dalam teori ini GID tidak dianggap sebagai penyimpangan
kesadaran; masalahnya tidak terletak pada apakah GID benar-benar dialami atau
tidak, namun bagaimana GID terjadi dan menetap.
TERAPI
Gangguan disosiatif menunjukkan, mungkin lebih baik
dibanding semua gangguan lain, kemungkinan relevansi teori psikoanalisis. Dalam
tiga gangguan disosiatif, amnesia, fugue dan GID, para penderita menunjukkan
perilaku yang secara sangat meyakinkan menunjukkan bahwa mereka tidak dapat
mengakses berbagai bagian kehidupan pada masa lalu yang terlupakan. Oleh sebab
itu, terdapat hipotesis bahwa ada bagian besar dalam kehidupan mereka yang
direpres.
Terapi psikoanalisis lebih banyak dipilih untuk gangguan
disosiatif dibanding masalah-masalah psikologis lain. Tujuan untuk mengangkat
represi menjadi hukum sehari-hari, dicapai melalui penggunaan berbagai teknik
psikoanalitik dasar.
Terapi GID. Hipnotis umum digunakan dalam penanganan GID.
Secara umum, pemikirannya adalah pemulihan kenangan menyakitkan yang direpres
akan difasilitasi dengan menciptakan kembali situasi penyiksaan yang
diasumsikan dialami oleh pasien. Umumnya seseorang dihipnotis dan didorong agar
mengembalikan pikiran mereka kembali ke peristiwa masa kecil. Harapannya adalah
dengan mengakses kenangan traumatik tersebut akan memungkinkan orang yang
bersangkutan menyadari bahwa bahaya dari masa kecilnya saat ini sudah tidak ada
dan bahwa kehidupannya yang sekarang tidak perlu dikendalikan oleh kejadian
masa lalu tersebut.
Terdapat beberapa prinsip yang disepakati secara luas dalam
penganganan GID, terlepas dari orientasi klinis (Bower dkk, 1971; Cady, 1985;
Kluft, 1985, 1999; Ross, 1989)
Tujuannya adalah integrasi beberapa kepribadian
Setiap kepribadian harus dibantu untuk memahami bahwa ia
adalah bagian dari satu orang dan kepribadian- kepribadian tersebut dimunculkan
oleh diri sendiri.
Terapis harus menggunakan nama setiap kepribadian hanya
untuk kenyaman, bukan sebagai cara untuk menegaskan eksistensi kepribadian yang
terpisah dan otonom.
Seluruh kepribadian harus diperlakukan secara adil
Terapis harus mendorong empati dan kerjasama diantara
berbagai kepribadian
Diperlukan kelembutan dan dukungan berkaitan dengan trauma
masa kanak-kanak yang mungkin telah memicu munculnya berbagai kepribadian.
Tujuan setiap pendekatan terhadap GID haruslah untuk
meyakinkan penderita bahwa memecah diri menjadi beberapa kepribadian yang
berbeda tidak lagi diperlukan untuk menghadapi berbagai trauma, baik trauma di
masa lalu yang memicu disosiasi awal, trauma di masa sekarang atau trauma di
masa yang akan datang.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar, Mulutmu Harimaumu