RASIONEL PERLUNYA BIMBINGAN DAN
KONSELING DITINJAU DARI SISI KONSTITUSIONAL, FILSAFAT DAN PERKEMBANGAN SOSIAL
BUDAYA
1. Tinjuan
konstitusional
Dalam konteks pendidikan nasional keberadaan pelayanan
bimbingan dan konseling telah memiliki legalitas yang kuat dan menjadi bagian
yang terpadu dalam sistem pendidikan nasional dengan diakuinya predikat
konselor secara eksplisit didalam Undang-undang No. 20/2003 tentang sistem
pendidikan nasional. Pada Bab 1 pasal 1 ayat 4 dinyatakan bahwa “Pendidikan adalah
tenaga pendidik yang berkualitas sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar,
widyaswara, tutor, instructor, fasilitator dan sebutan lain sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan” Pengakuan
legalitas profesi konselor ini sejalan dengan paradigma berfikir yang
mengandung konsep definisi pendidikan reposisi. Bimbingan dan Konseling
Kartadinata (2003) menjelaskan bahwa fokus kegiatan pendidikan tidak lagi
terletak sebatas kegiatan mengajar dengan mengutamakan peranan guru, melainkan
dengan sengaja melibatkan berbagai profesi pendidik, termasuk konselor untuk
menangani ragam aspek perkembangan dimensi belajar dengan menggunakan pola
relasi dan transaksi yang beragam pula.
2. Dari tinjauan
Filsafat
Bimbingan
dan konseling sesungguhnya terkait erat dengan pandangan para ahli tentang
hakikat manusia, tujuan, dan tugas hidupnya di dunia ini, serta kiat-kiat untuk
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaannya. Oleh karena itu
seorang konselor harus memiliki pemahaman yang akurat mengenai filsafat
manusia. Landasan filosofis atau filsafat merupakan landasan yang dapat
memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan
setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan
secara logis, etis maupun estetis. Dari berbagai aliran filsafat yang ada,
mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern bahkan filsafat
post-modern, para penulis Barat (Victor Frankl, Patterson, Alblaster &
Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan
tentang hakikat manusia sebagai berikut :
1. Manusia
adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk
meningkatkan perkembangan dirinya.
2. Manusia
dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha
memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
3. Manusia
berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri
khususnya melalui pendidikan.
4. Manusia
dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya
untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol
keburukan.
5. Manusia
memiliki dimensi fisik, psikologis, dan spiritual yang harus dikaji secara
mendalam.
6. Manusia akan
menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui
pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
7. Manusia
adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
8. Manusia
adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat
pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini
memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu
dan akan menjadi apa manusia itu.
9. Manusia pada
hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia
berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk
melakukan sesuatu.
Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya
bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang
manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus
mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan
berbagai dimensinya.
3. Tinjauan
Perkembangan Sosial dan Budaya
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat
memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi
kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang
individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia
hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan
pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di
sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan
tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi
dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam
proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan.
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal
antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki
latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003)
mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi
sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a) perbedaan bahasa; (b)
komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan menilai; dan (e)
kecemasan.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia,
Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling
multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural
sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan
konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu
kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih
berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan
kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik
Source: http://rofiqoh1994.blogspot.com/2013/05/alasan-rasional-perlunya-bimbingan-dan.html
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar, Mulutmu Harimaumu