Kamis, 02 Juli 2015

RASIONEL PERLUNYA BIMBINGAN DAN KONSELING DITINJAU DARI SISI KONSTITUSIONAL, FILSAFAT DAN PERKEMBANGAN SOSIAL BUDAYA
1.      Tinjuan konstitusional
Dalam konteks pendidikan nasional keberadaan pelayanan bimbingan dan konseling telah memiliki legalitas yang kuat dan menjadi bagian yang terpadu dalam sistem pendidikan nasional dengan diakuinya predikat konselor secara eksplisit didalam Undang-undang No. 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pada Bab 1 pasal 1 ayat 4 dinyatakan bahwa “Pendidikan adalah tenaga pendidik yang berkualitas sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor, instructor, fasilitator dan sebutan lain sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan” Pengakuan legalitas profesi konselor ini sejalan dengan paradigma berfikir yang mengandung konsep definisi pendidikan reposisi. Bimbingan dan Konseling Kartadinata (2003) menjelaskan bahwa fokus kegiatan pendidikan tidak lagi terletak sebatas kegiatan mengajar dengan mengutamakan peranan guru, melainkan dengan sengaja melibatkan berbagai profesi pendidik, termasuk konselor untuk menangani ragam aspek perkembangan dimensi belajar dengan menggunakan pola relasi dan transaksi yang beragam pula.
2.      Dari tinjauan Filsafat
            Bimbingan dan konseling sesungguhnya terkait erat dengan pandangan para ahli tentang hakikat manusia, tujuan, dan tugas hidupnya di dunia ini, serta kiat-kiat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaannya. Oleh karena itu seorang konselor harus memiliki pemahaman yang akurat mengenai filsafat manusia. Landasan filosofis atau filsafat merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis. Dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern bahkan filsafat post-modern, para penulis Barat (Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :
1.        Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
2.         Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
3.        Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
4.        Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
5.        Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis, dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.
6.        Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
7.        Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
8.        Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu dan akan menjadi apa manusia itu.
9.        Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.
3.      Tinjauan Perkembangan Sosial dan Budaya
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan.
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a) perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan menilai; dan (e) kecemasan.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik

Source: http://rofiqoh1994.blogspot.com/2013/05/alasan-rasional-perlunya-bimbingan-dan.html
Posted by Dhea Hediyati On 23.48 No comments

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar, Mulutmu Harimaumu

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

    Blogger news

    Blogroll

    About